Komoditas kopi mulai dikenal masyarakat utara lereng Gunung Marapi sejak tahun 1780, dibawa oleh pedagang Arab dan jemaah haji yang pulang dari Mekkah. Sampai tahun 1833, perkembangan komoditas kopi di Minangkabau masih bisa bergerak bebas tanpa terikat ke dalam jaringan perdagangan yang dikuasai oleh Belanda.
Para pedagang mengekspor langsung komoditas kopi melalui kontak dengan pedagang asing seperti Inggris dan Amerika, ditandai dengan tidak kurang dari 10 kapal Amerika setiap tahun datang ke pantai Padang dan kembali dengan muatan komoditas kopi (Zed, 1983). [1]
Perdagangan komoditas kopi menjadikan Luhak Agam, terutama Nagari Kurai, semakin ramai dikunjungi. Kegiatan pasar terbentuk di Padang Gamuak dan Gurun Panjang, yang kemudian dikenal dengan Pakan Kurai.
Daerah tersebut menjadi pemberhentian sementara (transit) para kuli dan buruh angkat yang membawa komoditas kopi dari daerah utama penghasil kopi di pedalaman Agam Tuo, antara lain Nagari Canduang, Lasi, IV Angkat, Baso, dan Kamang. Setelah transit, mereka melanjutkan perjalanan menuju daerah pelabuhan di pantai barat dan timur Pulau Sumatera, antara lain Bandar Pariaman dan Bandar Naras (Trides, 1999). [2]
Sumber:
Pemanfaatan Cagar Budaya sebagai Pariwisata Pusaka di Kota Bukittinggi,
oleh Faisal Zulfi @tourpreneur (2017)
Artikel diolah dari:
[1] Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial dalam Sistem Tanam Paksa Kopi di Minangkabau, Sumatera Barat (1847 – 1908),
oleh M. Zed (1983)
[2] Bukittinggi, Riwayatmu Dulu,
oleh Trides (1999)
–
Bukittinggiku Media Pratama, yang saat ini dikenal dengan @bukittinggiku merupakan portal informasi Kota Bukittinggi yang berbasis pada website dan sosial media.
@bukittinggiku berdiri secara independent di bawah naungan CV. Bukittinggiku Media Pratama dan di bawah lindungan Allah SWT sejak tahun 2011.
- Whatsapp Redaksi (klik disini)
- WhatsApp Marketing (klik disini)
- Join Grup WhatsApp & Telegram (klik disini)
- Facebook Page (klik disini)
- Instagram (klik disini)
- Twitter (klik disini)
- Youtube (klik disini)