Bukittinggi, katanya trendsetter Anak Muda Minangkabau

Bukittinggi, katanya trendsetter Anak Muda Minangkabau

Bukittinggi, katanya trendsetter Anak Muda Minangkabau. Berendam di sejuknya udara Bukittinggi, embun menyusup ke tulang sum-sum. Hatta, Syahrir, H. Agus Salim hanya diam di kanvas pelukis kaki lima. Polesan warna tak sembunyikan diamnya pembesar kelahiran negeri ini melihat percikan kembang api di seputar gonjong Jam Gadang.

Kota Bukittinggi memiliki luas wilayah 25,24 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 100.000 jiwa. Letaknya sekitar 2 jam perjalanan lewat darat (90 km) dari ibukota provinsi Padang. Bukittinggi dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago.

Kota yang berjulukan kota budaya di Sumatera Barat dengan Jam Gadang sebagai simbol kota memiliki potensi objek wisata, kota berhawa sejuk ini merupakan salah satu daerah tujuan utama dalam bidang perdagangan di pulau Sumatera. Bukittinggi telah lama dikenal sebagai pusat penjualan konveksi yang tepatnya berada di Pasar Aur Kuning.

Tetapi selain menjajakan romantisme budaya, apakah ia akan selalu menjajakan ide dan pikiran besar untuk memperbaiki nasib bangsa yang diamuk prahara budaya globalisasi?. Lihatlah, kebudayaan baru yang berpusar di sekitar perut gadis-gadis berkulit putih yang mendaku pewaris Bundo Kandung; tank top menggejala di areal taman Jam Gadang yang dingin.

Bahan baku apakah yang digunakan menyelimuti gadis-gadis keturunan Gunuang Marapi ini?. Bukittinggi sekarang terlena dengan pujian semu; trend setter mode anak muda Sumatera Barat. Salah seorang dengan lancang menyebut kotanya sebagai Paris van Minangkabau. Paris? Le Perisien?

Dalam permenunganku aku melihat kembali potret Urang Gadang Bukittingi; Agus Salim, Hatta, Syahrir. Lukisan itu basah embun. Bukittinggi apakah yang sedang berpanggung hari ini?

Bukittinggi agaknya berupaya melupakan sejarah. Kecendrungan baru berkisar pada pusaran kapitalisasi budaya pop. Sejarah Bukittinggi cukuplah sejarah Agus Salim, Hatta, Syahrir yang hanya layak muncul di forum seminar dan buku sejarah di sekolah-sekolah. Setidaknya masih ada yang berhasil bertahan; Sejuknya Embun Malah sebelum dijemput fajar pagi. Pendatang baru lainnya, Mall, Café-café dan daftar harga souvenir yang fluktuatif.

Penulis: Muhammad Nasir
“Anak Nagari Salo, Kecamatan Baso, Kab. Agam”