Janjang Gudang Bukittinggi, Pusat Penyimpanan Kopi Terbesar di Sumatera Barat (Bukittinggi, tahun 1900). Perdagangan komoditas kopi yang berasal dari pegunungan Minangkabau merupakan faktor utama bagi Belanda untuk menguasai daerah tersebut (Dobbin, 1983). [1]
Setelah kemenangan atas kaum Paderi pada tahun 1837, Belanda mulai menerapkan sistem tanam paksa kopi pada tahun 1847 – 1908. Di sisi lain, sistem tersebut menjadikan Padang sebagai tempat terakhir pengumpulan kopi dan penampungan barang dagangan penting, sehingga turut mengubah orientasi perdagangan di Sumatera Barat, dari sungai yang mengalir ke pesisir timur (Selat Malaka) menjadi pindah ke pesisir barat (Padang), sebagai pusat kota administrasi, pemasaran, dan pengangkutan.
Di samping itu, Belanda juga mulai membangun dan mengembangkan fasilitas penunjang, seperti jalan, rel kereta api, gudang penyimpanan kopi, serta pasar. Bentuk pengaruh penguasaan Belanda terhadap perdagangan komoditas kopi di Nagari Kurai terlihat dari didirikannya gudang-gudang penyimpanan kopi di sekitar pasar. Kawasan tersebut kemudian dikenal sebagai Janjang Gudang. Kegiatan di sekitar Janjang Gudang tersebut semakin berkembang dengan munculnya perhentian pedati yang berada di sebelah selatan tangsi serdadu Belanda (Booth, O’Malley, dan Weidemann, 1988). [2]
Sumber:
Pemanfaatan Cagar Budaya sebagai Pariwisata Pusaka di Kota Bukittinggi,
oleh Faisal Zulfi @tourpreneur (2017)
Foto diolah dari:
Janjang Gudang, Bukittinggi (circa 1930),
oleh Suryadi @niadilova (2013)
Artikel diolah dari:
[1] Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatra, 1784-1847,
oleh C. Dobbin (1983)
[2] Sejarah Ekonomi Indonesia,
oleh A. Booth, W. J. O’Malley, dan A. Weidemann (1988)