Selain Jam Gadang, Ternyata Bukittinggi Punya 10 Monumen Bersejarah Lainnya

Selain Jam Gadang, Ternyata Bukittinggi Punya 10 Monumen Bersejarah Lainnya

Selain Jam Gadang, Ternyata Bukittinggi Punya 10 Monumen Bersejarah Lainnya – Saat pulang ke Bukittinggi beberapa saat lalu, saya sempat iseng melakukan wisata kecil-kecilan disana. Wisata yang saya lakukan kali ini bukan sekedar wisata biasa.

Bukan wisata yang bisa dilakukan oleh banyak orang seperti berkunjung ke Jam Gadang, menikmati indahnya Ngarai Sianok, wisata sejarah ke Lubang Jepang, ataupun wisata kuliner di Los Lambuang. Bermodalkan satu kamera poket, saya mulai mengitari kota Bukittinggi di sore hari untuk berwisata menikmati tugu-tugu bersejarah di Kota Bukittinggi.

Selepas ashar, saya berangkat dari rumah yang berada di Gulai Bancah menggunakan sepeda motor. Perjalanan saya mulai ke arah Bukik Ambacang, Pacuan Kuda, dimana disana berdiri sebuah Replika Jam Gadang berukuran kecil sebagai tanda batas kota.

Jam Gadang mini ini terletak di jalan dari Luak Anyia menuju Gadut, persis di sisi jalan di depan tribun penonton. Tingginya kira-kira sekitar dua meter. Jam Gadang mini ini menjadi batas kota Bukittinggi sebelah utara. Setiap orang yang keluar Bukittinggi dari pusat kota menuju arah utara (Palupuah, Lubuak Sikapiang, Medan) pasti melewati tugu ini.

Selanjutnya saya bergerak ke arah Simpang Tembok. Di perempatan jalan berdiri sebuah patung yang memiliki tinggi sekitar lima meter. Terlihat seorang pejuang sedang menunggang kuda sembari menghunuskan Karih – nya (red: senjata tradisional Minangkabau) ke langit.

Tugu ini bernama Monumen Imam Bonjol. Monumen ini dibangun untuk memperingati perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol berasal dari Bonjol yang sangat taat memeluk agama islam. Pengikut Tuanku Imam Bonjol bernama Kaum Paderi. Kaum Paderi sangat menentang sifat Kaum Adat yang suka meminum minuman keras, berjudi, menyabung ayam, berkelahi dan merampok.

Pada tahun 1821-1837 terjadilah Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol melawan Kaum Adat yang dibantu oleh Belanda. Namun Kaum Paderi menang, bahkan perlawanan sampai ke daerah Bukittinggi. Tuanku Imam Bonjol dibantu oleh Haji Sumanik, Haji Piobang, Haji Miskin, dan lain-lain

Puas dengan Monumen Tuanku Imam Bonjol, saya melanjutkan perjalan ke arah Rumah Sakit Achmad Muchtar (RSAM) Bukittinggi. Di pertigaan jalan persis di depan kantor Samsat lama terdapat sebuah tugu berwarna putih kekuningan karena dimakan cuaca, berbentuk persegi panjang, dan terletak di sebuah taman.

Dibagian atas monumen ini terlihat sebuah ukiran dua buah parang yang yang disilangkan dibawah sebuah Rumah Gadang. Disampingnya tertulis Perlawanan Rakjat Menentang Kolonialisme Belanda 15 Djuni 1908 ”. Tugu ini diusahakan oleh Panitia Pusat Hari Peringatan Sumatera Barat Menentang Pendjadjahan Belanda.

Melanjutkan perjalanan sore saya dengan berkeliling ke arah Panorama, Simpang DPRD, Kampuang Cino, dan sampai pada akhirnya saya menemukan sebuah tugu di sebelah kiri jalan yang tamannya banyak digunakan muda-mudi untuk memadu kasih. Wah, ini merupakan salah satu bentuk penyalah-gunaan fungsi tugu bersejarah untuk keperluan pribadi hehehe.

Terlihat sebuah taman yang cukup bersih yang di tengahnya terdapat bentuk yang sedikit abstrak di bagian bawah, dan sebuah patung manusia. Patung tersebut sedang mengangkat kedua tangannya ke atas dan di tangan kirinya sedang memegang sesuatu.

Tugu ini bernama Tugu Pahlawan Tak Dikenal. Tugu ini dibangun untuk mengenang gugurnya para pahlawan yang tak bisa dikenal secara pasti dalam menentang kolonialisme Belanda pada tanggal 5 Juni 1908. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Jend. A.H. Nasution pada tanggal 15 Juni 1963 dan diresmikan tahun 1965. Konstruksi bangunan tugu diciptakan oleh seorang seniman bernama Hoerijah Adam (1936-1971) yang meninggal akibat kecelakaan pesawat.

Setelah membaca papan informasi yang ada di sekitar tugu, baru lah saya tahu bahwa bagian bawah bukan bentuk abstrak seperti yang saya narasikan diawal. Bagian bawah tugu ini berbentuk ornamen lingkaran ular naga yang besar, diatasnya berdiri patung seorang pemuda memegang bendera, namun stetelah disambar petir, patung diatasnya sudag diganti tapi tidak ada benderanya. Disisi lain tugu ini dihiasi oleh lingkaran tembok pagar yang dipenuhi oleh relief yang menggambarkan perlawanan rakyat dalam menentang kolonialisme Belanda untuk merebut Kemerdekaan Indonesia.

Persis di depan Tugu Pahlawan Tak Dikenal ini, terdapat sebuah patung laki-laki berkaca mata, berpostur tegap, berpakaian rapi, menggunakan peci, dan melambaikan tangannya seakan menyapa setia orang yang lewat di depannya.

Patung ini bediri di sebuah areal taman yang ditata secara rapi dan bersih. Terlihat beberapa anak tangga berjejer di bawah patung ini. Setahu saya, tugu dan monumen ini adalah yang paling baru di Bukittinggi. Sewaktu kecil disini hanya terdapat taman sebagai area bermain keluarga.

Taman ini bernama Taman Monumen Bung Hata. Patung yang saya deskripsikan di awal adalah Muhammad Hatta atau lebih dikenal dengan panggilan Bung Hatta, Sang Proklamator Republik Indonesia. Bung Hatta merupakan anak nagari Bukittinggi, beliau lahir di Bukittinggi persis nya di rumah orang tuanya di Jl. Soekarno Hatta Bukittinggi. Rumah kelahiran beliau tersebut sekarang sudah dijadikan Museum.

Matahari sudah sedikit bersahabat, Bukittinggi terasa sangat sejuk, dan saya melanjutkan perjalanan ke arah selatan, tepatnya ke Jl. Sudirman. Persis di depan Kantor Pos Bukittinggi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Simpang Stasiun, saya memakirkan motor saya di depan warung kecil di pertigaan jalan tersebut.

Di pertigaan jalan itu bediri sebuah tugu menjulang ke atas sekita tiga meter. Tugu ini dikelilingi pagar besi dengan hiasan atap rumah gadang di setiap sudutnya. Di papan informasinya tertulis “ Monumen Polwan” Memperingati Lahirnya Polwan Pertama di Indonesia.

Monumen Polwan ini bernama “ Esthi Bhakti Warapsari ”. Diresmikan di Bukittinggi tanggal 27 April 1993 oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Drs. Banurusman.

Bergeser sedikit ke arah selatan, tepatnya di sebelah Lapangan Wirabraja (Lapangan Kantin) Bukittinggi, saya kembali berhenti dan menyiapkan kamera poket saya yang batrai sudah hampir habis.

Terlihat taman yang cukup luas dengan rumput teki (red: rumput jepang) pendek yang mengeliling sebuah monumen. Sebuah batu besar berbentuk persegi panjang berwarna hitam dan dihiasi dengan relief pedang dan senapan yang disilangkan. Diatasnya bediri seorang opsir tentara berbadan tegap yang memegang sebuah pedang dan berlagak seperti orang yang sedang berperang.

Diatas pedang dan senapan yang disilangkan tadi tertulis “ Monumen Pendidikan Opsir Divisi IX banteng Sumatera Tengah ”. Dan dibawahnya juga tertulis sebuah kalimat yang tidak saya mengerti: “ ciwis pacem para bellum” (red: Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang)

Namun, sayangnya kondisi taman di monumen ini sedikit tidak terawat. Terlihat sampah berterbaran dan bagian bawah monumen yang sudah berlumut.

Ternyata di Jl. Sudirman ini banyak menyimpan tugu-tugu bersejarah. Tidak beberapa jauh dari tugu Opsir tadi, tepatnya di kawasan Sekolah Menengah Negeri (SMAN) 2 Bukittingi. Sekolah yang dikenal dengan sekolahnya para raja di jaman Belanda dulu. Bangunan utamanya pun masih berdiri kokoh dengan ciri khas bangunan khas kolonial.

Beberapa meter setelah gerbang masuk, saya berjalan ke arah kanan dan menemukan sebuah monumen yang tidak terlalu besar. Monumen ini terbuat dari sebuah batu berwarna hitam yang di depannya terdapat pahatan yang bertuliskan “ Kenangan Bagi Tentara Peladjar Jang Telah Gugur “. Di bawahnya tertulis 17 nama pelajar yang telah gugur berikut asal kota mereka. Para pelajar ini berasal dari Kamang, Pariaman, Paninjauan, Kapeh Panji, Sungai Pua, Galo Gandang, Muaro Lanuah, dan Padang Utara. Monumen ini diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1985 di Bukittinggi.

Terus beranjak ke selatan, dan akhirnya pun saya kembali menemukan tanda batas kota Bukittinggi. Tepatnya di daerah Jambu Aia. Berdiri di sisi jalan sebellah kiri dan hampir tertutup oleh bangunan toko, tugu ini menjadi batas kota arah selatan Bukittinggi.Merasa telah sampai di batas kota, saya pun memutuskan berbalik arah dan melanjutkan ke arah timur kota.

Cuaca sore kota Bukittinggi memang sangat khas. Sedikit pancaran cahaya matahari membuat udara kota yang tidak teralu dingin di sore hari. Sangat cocok untuk berjalan-jalan mengelilingi kota.

Tapi, di tengah jalan saya dikejutkan oleh sebuah tugu yang asing buat saya. Sempat terlewat di perjalanan menuju tugu di SMAN 2 tadi. Letaknya pun sedikit tersembunyi di samping warung pecel lele dan terlihat sangat tidak terurus. Tugu ini terletak di depan Sekolah Menengah Kejuruan Swasta di areal perumahan Kodim. Di tugu tersebut terukir sebuah tulisan : GEDENKNAALD TER MERDENGKING AAN GESNEUVELDEN. TE KAMANG. EN MANGGOPOH OPSTAND 15 JUNI 1908. Berikut fotonya:

Tidak lama di tugu tadi, saya pun melanjutkan perjalanan ke arah timur Bukittinggi. Saya memutuskan mengambil jalur Tarok, Aua Kuniang, dan selanjutnya ke arah Tanjuang Alam.

Di pertigaan setelah terminal Aua menuju Ampang Gadang, tepatnya di daerah yang bernama Tigo Baleh, saya menemukan sebuah tugu di tengah jalan berwarna merah kuning dan hitam. Tugu ini dibuat untuk memperingati hari masuknya ABRI ke Bukittinggi. Ha ini terbukti dari tulisan yang tertulis di bagian bawah tugu ini. ” ABRI Masuk Desa. Manunggal XIV 25 november 1983 “.

Dan pada akhirnya pun saya sampai di batas kota yang ke tiga, yaitu di daerah timur Bukittinggi. Jam Gadang mini pun kembali saya temukan. Terletak di sebelah kiri jalan Soekarno Hatta menuju daerah Tanjuang Alam.

Jam gadang mini ke tiga ini merupakan batas kota Bukittinggi sebelah timur yang membatasi kota dengan daerah Tanjuang Alam, Biaro, Ampek Angkek, Baso dan Payakumbuah.

Hari beranjak gelap, batrai kamera pun semakin berkurang. Saya memutuskan untuk ke pusat kota. Jam Gadang tujuan saya. Ini lah tugu paling bersejarah di Bukittinggi. Tugu yang sejak dulu telah menjadi icon kota Bukittinggi, pusat kota, pusat hiburan keluarga, pusat jajanan, pusat aksesoris, dan pusat aktivitas masyarakat kota Bukittinggi.

(@saidi.bandaro)