Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia Asal Bukittinggi Muncul di Google Doodle. Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia Muncul di Google Doodle. Google Doodle edisi Selasa (20/3/2018) kali ini merayakan ulang tahun ke-97 Usmar Ismail, dalam ilustrasi vintage pria berkacamata dengan sebuah kamera perekam.
Mungkin sekilas nama Usmar Ismail terdengar familiar. Terlebih bagi kamu yang tinggal di Jakarta, namanya juga menjadi salah satu gedung (Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail) yang lokasinya ada di kawasan Jl H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Ya, Usmar Ismail Lahir di Bukittinggi, Wafat di Jakarta. Pendidikan : HIS, MULO-B, AMS-A II (Barat Classic) (usai 1941), Jurusan Film Univ. Kalifornia (BA-1953).
Jadi penyair serta dramawan semen jak masih tetap sekolah, Usmar dijaman pendudukan Jepang tergabung dalam ‘Pusat Kebudayaan’. Lantas pada saat yang sama dia dengan Dr. Abu Hanifah dengan kata lain El Hakim, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, Sudjojono (pelukis) dan H. B. Jassin serta yang lain sekali lagi membangun perkumpulan sandiwara pengagum (amatir) ‘Maya “.
Karya-karyanya saat itu dihimpun dalam ” Punting Dengan ” (puisi) ” Sedih serta Senang ” (lakon sandiwara). Dua dramanya masa itu lalu difilmkannya sendiri, yaitu ” Tjitra ” (1949) serta ” Berlibur Seniman ” (1965). Th. 1945 setelah Proklamasi Kemerdekaan, dia jadi Pemimpin Redaksi ” Harian Rakjat ” Jakarta.
Pada saat Belanda kembali dengan Tentara Sukutu dia geser ke Jogjakarta lantas jadi anggota TNI dengan pangkat Mayor hingga th. 1949. Pada saat Perang Kemerdekaan itu Usmar tetaplah aktif jadi Sastrawan, dramawan, serta wartawan. Dia jadi Pemimpin Redaksi (lalu harian) ” Patriot “, bulanan ” Arena ” satu gelanggang untuk seniman muda, sambil mengetuai ” Tubuh Permusyawaratan Kebudayaan Indonesia “, ” Serikat Artis Sandiwara ” serta PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).
Th. 1948 saat dia ke Jakarta jadi wartawan politik Kantor Berita Pada, Usmar ditawan Belanda dengan tuduhan lakukan subversi. Sesudah bebas, Usmar dibawa Andjar Asmara yang sudah mengenalnya terlebih dulu jadi orang sandiwara untuk membantunya menyutradarai ” Gadis Desa ” (1949).
Sesudah film itu dia segera dipercayai menyutradarai ” Harta Karun ” yang diangkatnya dari karya Moliere, lantas ” Tjitra ” yang dijelaskan di atas. Skenario Tjitra ini lalu dibukukan serta dilengkapinya dengan ” Pengantar ke Dunia Film “, satu pengantar apresiatif pembuatan film.
Mengerti film-film yang Indonesiawi juga akan lahir cuma dari beberapa orang yang menghayati ke Indonesianya, jadi Usmar dengan sebagian kawannya membuat satu perusahaan, yaitu Perfini dimuka 1950. Selesainya Film pertama Perfini ” Darah serta Doa ” (1950), dipandang kritisi film jadi kelahiran film nasional Indonesia Pertama. Dengan dua film selanjutnya ” Enam Djam di Joga ” (1950) serta ” Dosa Tidak Berampun ” (1951) dinilai kritisi film jadi karya-karya yang seutuhnya mempunyai tanda-tanda yang indonesiawi.
Setelah menyutradarai ” Terimalah Laguku ” (1952), Usmar pergi ke Amerika untuk belajar sinematografi. Sepulangnya dari sana dia segera buat ” Kafedo ” (53) yang dia anggap jadi batu ujian untuk hasil belajarnya. Tetapi film yang seutuhnya bertemusana Indonesia ini rusak pengisian suaranya serta tidak berhasil menarik pemirsa.
Dalam menyiapkan Kafedo itu, Usmar berikan peluang serta mendidik pemuda yang tertarik dalam penyutradaraan film. Lewat programnya berikut Nya Abbas Acup terbawa ke film. Mengerti faedah program pendidikan ini hagi pembinaan perfilman serta sekalian dunia sandiwara Indonesia, jadi th. 1955 dia membangun ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia).
Pada th. 1950-an itu ada desakan pada film-film nasional. Selain ketertarikan pemirsa yang kurang serta saingan berat dari film impor, fihak entrepreneur bioskop juga kurang tertarik berikan peluang mempertunjukkannya. Untuk menangani kerugian karna hal tersebut, Usmar juga berkompromi dengan buat film-film hiburan selain berupaya supaya yang memiliki bioskop mad memutarnya.
Demikianlah lahirnya ” Krisis ” (1953) yang saat di Metropole (saat ini Megaria – bioskop paling baik saat itu) pernah menarik pemirsa berjubel sepanjang lima minggu. Memperoleh tenaga baru dari hasil Krisis, Usmar kembali buat film menurut citanya awal mulanya, ” Lewat Djam Malam ” (1954). Sayang, film baik ini teknis rusak saat di laboratorium serta gambarnya berhujan.
Demikianlah Usmar beragam buat film hiburan dengan film ‘baik’. Pada dalam itu, Usmar selalu mendorong terjadinya PPFI yang dibangunnya dengan Djamaluddin Malik serta bebrapa entrepreneur yang lain dalam th. 1954. Usmar jadi Ketuanya hingga 1965.
Tetapi desakan pemasaran yg tidak baik serta minimnya perlindungan Pemerintah yang ideal mengakibatkan krisis industri film menjangkau puncaknya pada kwartal pertama 1957 dengan ditutupnya studio-studio film. Dalam keterseot-seotan sesudah studio di buka kembali Perfini agak tertolong dengan hasil-hasil film ” Tiga Buronan ” (1957) serta ” Djendral Kantjil ” (1958) karya Nya Abbas Acup serta film ” Asrama Dara ” (1959) dari Usmar.
Serta Usmar juga kembali pada citanya awal mulanya dengan buat ” Pedjuang ” (1959). Walaupun film baik ini peroleh berhasil komersiel yang baik juga, Perfini tetaplah belum juga dapat melunasi hutangnya serta studionya di Mampang di ambil negara serta diserahkan pada PFN (1960).
Pada dalam itu, unsur-unsur politis mulai juga merasuki perfilman serta Usmar memperoleh serangan dari grup PKI jLekra jSarbufis. Demikianlah filmnya ” Anak Perawan Disarang Penjamun ” (1962) diangkat dari roman Sutan Takdir Alisyahbana pernah diboikot peredarannya.
Dalam kerincuan politik tersebut Usmar jadi anggota Partai politik Nandatul Ulama (NU) sambil jadi Ketua Lesbumi organ kebudayaan NU. Lewat partai itu Usmar diangkat jadi anggota DPR-GR pada 1966-1969. Dalam membina industri film nasional serta menangani desakan film impor, th. 1959 diselenggarakan Musyawarah Film Nasional.
Lalu untuk setelah itu Usmar dipilih jadi Ketua Tubuh Musyawarah Perfilman Nasional (BMPN). BMPN berikut lalu sebagai motor terlaksananya apa yang di kenal dengan Musyawarah Besar Nasakom yang diketuai Nyonya Malidar dalam th. 1964 jadi tandingan untuk aktivitas PKI lewat Papfias-nya.
BMPN ini pulalah yang mendorong Pemerintah melahirkan ” Alur Pembinaan Perfilman Nasional ” dalam th. 1967. Setelah filmnya ” Berlibur Seniman ” (1965), Usmar istirahat dari dunia film hingga 1969 saat dia menyutradarai ” Ja Mualim “. Sepanjang masa itu Usmar melarikan diri ke dunia dagang lantas ke dunia hiburan.
Usmar adalah orang Indonesia pertama membangun `nightclub’, yaitu ” Miraca Sky ” di puncak gedung Sarinah mendekati akhir th. 1960-an. Lantas dia memimpin P. T. Triple T. tengah terlebih dulu, pada 1956-1960, dia sempat memimpin bank film, P. T. Bank Kemakmuran. Usmar yang dikenal juga jadi ‘starmaker’ (yang melahirkan Nurnaningsih, Indriati Iskak, dsb. th. 62 terima piagam Wijayakusuma dari Presiden Soekarno. Usmar wafat dunia dalam akhir masa pembuatan ” Ananda ” (1970), film paling akhir untuk Usmar, film kiprah untuk Lenny Marlina.